Kiprah Elanto, Aktivis Jogja yang Kerap Adang Penyalahgunaan Patwal

3 months ago 47

Yogyakarta, CNN Indonesia --

Keberadaan Patroli Pengawalan (Patwal) Lalu Lintas belakangan jadi sorotan publik buntut aksi petugas voorijder yang dinilai arogan kala mengawal mobil RI 36.

Mobil berpelat RI 36 itu adalah milik Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad. Baik Raffi maupun Polda Metro Jaya telah mengklarifikasi insiden patwal dengan sopir taksi kala mengawal mobil RI 36 itu beberapa waktu lalu.

Tak lepas dari polemik fungsi patwal untuk pejabat negara, penggunaan voorijder di jalanan aspal juga disorot publik lantaran dianggap masih sering disalahgunakan. Bahkan sejumlah pakar termasuk dari  Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat mendesak agar penggunaan patwal dan pengamanan, khususnya bagi pejabat untuk ditertibkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu pun disepakati Elanto Wijono, seorang aktivis asal Yogyakarta, DIY. Di Kota Pelajar itu, Elanto dikenal karena aksinya yang kerap turun ke jalan dan mengadang patwal diduga tak sesuai peruntukkannya, termasuk mengawal bus pariwisata. Menegur aksi patwal 'semena-mena' itu ternyata sudah dilakukan pria asal Umbulharjo itu selama hampir satu dekade terakhir.

Aksi terakhirnya yang terekam di media sosial X adalah pada 25 Januari di Sleman dan 24 Januari lalu di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta.

Dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu, Elanto mengatakan dia melakukan hal tersebut berdasarkan aturan yang tercantum dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang pada dasarnya mewajibkan pengguna jalan mendahulukan kendaraan yang masuk dalam kategori prioritas.

Persoalannya, berulangkali Elanto menangkap basah patwal ini membukakan jalan iring-iringan kendaraan diduga di luar ketentuan seperti rombongan bus pariwisata, dia mengatakan dalih polisi yang disampaikan pun tetap sama yakni 'Diskresi'.

"Ada penyalahgunaan karena penggunaan diskresi yang tidak pada tempatnya. Diskresi yang tidak berintegritas. Diskresi ini menjadi alasan yang klasik yang sejak dulu selalu digunakan," kata Elanto kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (8/2).

Alasan klasik untuk 'diskresi yang tidak berintegritas' itu, kata Elanto, diduga karena menggunakan celah dalam Pasal 134 huruf g UU LLAJ. Pasal 134 huruf g itu mengatur konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu mendapat 'hak istimewa' dan bisa didahulukan di jalan menurut pertimbangan petugas Polri.

Dalam penjelasan Poin G pada pasal juga sudah diuraikan bahwa 'kepentingan tertentu' yang dimaksud adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, meliputi: kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk penanganan bencana alam.

Elanto Wijoyono, aktivis asal Yogyakarta yang erap turun ke jalan dan mengadang patwal tak sesuai peruntukkannya.  (CNNIndonesia/TUnggul)Elanto Wijoyono, aktivis asal Yogyakarta yang kerap turun ke jalan mengadang patwal tak sesuai peruntukkannya. (CNNIndonesia/TUnggul)

"Istilah diskresi sudah mulai dikritisi oleh publik, sekarang mereka banyak menggunakan diksi melayani, pelayanan atas permohonan masyarakat. Dalilnya ketika masyarakat mengajukan permohonan ya, kami sebagai apparatur eh, akan membantu," kata Elanto.

"Jadi bahasa-bahasa yang coba dilunakkan atau bahasa yang saya yakin itu sengaja untuk dipilih untuk membangun narasi yang seolah-olah bisa lebih positif dan diterima oleh publik. Padahal sekali lagi setiap permohonan dari masyarakat kepada aparatur, tentu saja itu kan harus melalui proses penilaian oleh aparatur," sambung pria yang kini tengah menempuh program magister di UGM itu.

Padahal, landasan argumen pemberian diskresi ini sendiri juga tidak jelas. Elanto pun merasa tak berlebihan bila menyebut ketentuan itu potensial koruptif.

"Yang harus dicermati oleh publik apakah kemudian diskresi yang digunakan itu adalah hasil dari penilaian yang utuh? Apakah kemudian aparatur bisa menggunakan diskresi itu memang secara berintegritas, karena diskresi itu juga akan menjadi ruang yang sangat rentan disalahgunakan, apalagi ketika kemudian ada konflik kepentingan di situ. Apalagi ketika kemudian ada indikasi transaksional," paparnya.

[Gambas:Twitter]

Indikasi transaksional itu memang tak pernah Elanto benar-benar buktikan. Tapi, beberapa peristiwa yang ia hadapi paling tidak bisa memberi sketsa atau sebuah benang merah kepada masyarakat ihwal kecurigaannya tersebut.

Baca halaman selanjutnya.


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi