
Oleh: La Ode Arwah Rahman
Staf Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan, Institut Teknologi BJ Habibie
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh sengketa empat pulau Aceh - Sumatera Utara, layaknya bara besar dalam tubuh republik. Bagi pusat ini mungkin hanya sekadar keputusan administratif, tapi bagi Aceh ini bisa dibaca sebagai penghinaan atas sejarah, pengingkaran terhadap perjanjian damai, dan ancaman terhadap harga diri.
Bara itu kini menyala, dan jika tak segera ditangani dengan bijak, bisa menjalar menjadi api yang membakar kepercayaan daerah terhadap Jakarta, serta mengguncang bangunan negara-bangsa yang kita jaga bersama.
Sejarah dunia telah membuktikannya. Negara yang tak peka terhadap luka-luka kecil daerah, lambat laun akan merasakan gempa besar yang merobek keutuhan nasionalnya.
Yugoslavia pecah karena retakan kepercayaan. Catalunya mengguncang Spanyol karena luka identitas yang diabaikan. Dan kini, Indonesia berada di tepi jurang yang sama.
Bagi Aceh, empat pulau, yakni Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang adalah lebih dari sekadar peta. Pulau pulau ini menyangkut harga diri, keistimewaan yang dijamin UUD, dan, yang paling sensitif, komitmen damai yang diteken bersama Republik dalam MoU Helsinki 2005.
Dalam logika Aceh, jika hal seperti ini saja bisa dilakukan sepihak oleh Jakarta, lalu apa arti "keistimewaan Aceh"? Apa arti perdamaian? Kira kira seperti itu.
Luka Lama yang Dibuka Kembali
Aceh bukan daerah biasa. Ia punya sejarah perlawanan panjang terhadap pusat, korban jiwa tak terhitung, hingga trauma kolektif yang belum pulih sepenuhnya. Damai yang dicapai melalui Helsinki bukan sekadar gencatan senjata, itu kontrak politik, psikologis, dan kultural antara dua pihak yang pernah saling curiga. Maka ketika pusat kembali bertindak sepihak, luka lama pun berdarah lagi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: