
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Ketika senja jatuh di utara Jakarta, kawasan Batavia PIK berubah menjadi panggung terbuka yang memesona. Langit jingga memayungi dua pulau—Golf Island dan Riverwalk Island—yang terhubung oleh kanal, menjadi saksi pertemuan antara masa lalu dan masa kini.
Di sinilah, pertunjukan budaya bernuansa historis seperti Batavia Tales dan Dancing Water Fountain Show hadir, bukan sekadar sebagai tontonan, tapi pengalaman lintas waktu yang menyentuh.
Sore itu, para pengunjung mulai berdatangan dan memadati Alun-alun Batavia. Tak ada dinding teater atau kursi beludru, hanya angin malam dan langit terbuka yang menjadi atap kisah.
Batavia Tales, musikal yang berlatar Batavia abad ke-19, membentangkan kisah cinta, perjuangan, dan persilangan budaya.
Delapan karakter, empat episode, satu cerita utuh. Di bawah arahan Mhyajo, sang sutradara sekaligus penulis naskah, kisah Ahmad Rahman Marzuki dan Mei Lian Kang—dua tokoh dari latar dunia berbeda—disampaikan melalui tarian, musik, dan dialog yang memikat.
"Kami ingin penonton bukan hanya menyaksikan cerita, tapi ikut merasakannya,” ujar Mhyajo dalam penjelasan sebelumnya.
Saat tepuk tangan mereda, penonton tak langsung meninggalkan tempat. Mereka berjalan menuju jembatan kayu di atas kanal yang menyerupai Jembatan Kota Intan dalam versi modern.
Dari kejauhan, musik klasik mulai terdengar, air menyembur membentuk lengkungan, menari mengikuti irama, dan berpadu dengan cahaya warna-warni yang membelah gelapnya malam.
Pertunjukan Dancing Water Fountain menjadi atraksi lanjutan yang tak kalah magis. Disebut sebagai salah satu atraksi air menari terbesar dan terpanjang di Asia, pertunjukan ini berdurasi sekitar sepuluh menit setiap sesinya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: